Jumat, 26 April 2013

Butiran Senja



Kau menatap kertas itu dengan wajah kusut masai. Sesekali kau hujamkan guratan-guratan pensil dengan kasar dan keras. Sesekali kau mencoretnya, menggantinya dengan guratan-guratan lain. Aku hanya bisa mendiam, menatapmu berjuta tanya. Tiba-tiba pensil yang kau hujamkan berkali-kali itu patah. Kau membuangnya. Frustasi.



“Siaaaaall!” teriakmu pada langit yang sudah menyemburkan semburat mega. Dihadapan kami sejumlah remaja tampak bersuka cita menyambut senja. Kau tak peduli. Kau tetap menghujamkan samurai pensilmu sambil sesekali menatap senja di tepian pantai Padang.

“Teriak pun tak ada gunanya,” erangku. “Lebih baik kau tenangkan dirimu. Kita pulang saja ya? Aku antar.” Kau mengangguk. Membereskan kertas, pensil, dan segala tetek bengek peralatanmu yang terserak. Memasukkannya ke dalam tas yang kemudian kau selempangkan ke bahu kananmu serampangan, dan berjalan menuju mobil mendahuluimu

“Temani aku minum kopi,” pintamu. Dengan segera kukemudikan mobil menuju kedai kopi kesukaanmu.

*          *          *

“Kau kenapa?” tanyaku di suatu senja. Kulihat kau menyeka air matamu sekilas, menghela napas berat, kemudian menatapku seolah tak ada yang terjadi.

“Aku baik-baik saja.” Kau menyunggingkan senyuman padaku. Tapi aku tahu ada yang salah padamu, karena matamu menyiratkan kedukaan yang mendalam.

“Tak boleh menyimpan masalah,” tegurku. Kau menghela napas, lalu berdiri di hadapanku, membelakangi matahari yang mulai terbenam di ufuk barat. Rambutmu yang panjang terurai berkibar diterpa angin. Dalam siluet senja kau tampak begitu cantik, begitu anggun. Aku berdiri sembari terus menatapmu yang menatap mataku begitu lamat.

“Aku baik-baik saja,” ucapmu sambil menangkupkan kedua belah telapak tanganmu di pipiku. Kau mengusapnya dengan lembut sembari menatap mataku. Tanganku bergerak menyentuh pipinya, mengusap airmata yang mulai meluncur dari matamu. Kau terisak. Tak tega, kuisyaratkan dirimu untuk menangis di pundakku, dan seketika kau telah menghambur dalam pelukku.

“Menangislah,” bisikku sembari mengusap punggungmu. Tanganku bergerak melingkari pinganggmu, mencoba memberi rasa nyaman. “Menangislah bila itu bisa menenangkan batinmu.” Kubiarkan kau menangis sepuas hatimu. Kau terisak, mulai merenggangkan pelukanmu dan menatapku, kemudian kembali menangis dan memelukku.

“Sudah, sudah,” bisikku sembari mengusap kepalamu. Sesekali kucium puncak kepalamu yang menguarkan aroma apel hijau, aroma shampoo kesukaanmu. Tak lama, isakanmu mereda. Kau melepaskan pelukanmu dengan mata sembab, dan semburat rona merah yang samar di pipimu.

“Merasa lebih baik?” tanyaku sembari mengusap sisa-sisa air mata yang masih menggenang di pelupuk matamu. Kau mengangguk, mencoba tersenyum dengan wajah yang masih kusut masai. Tanpa sadar kukecup keningmu lembut dan lama. Mencoba memberitahumu betapa aku terluka melihat keadaanmu kini.

“Kau membuatku cemas,” ucapku lembut. Masih menatapmu, dan masih mengusap pipimu.

“Tak perlu mencemaskanku,” katamu.

“Tidak bisa, bagaimana mungkin aku tak mencemaskan orang yang kukasihi?” Kurentangkan kedua tanganku, mendekapmu lebih erat. Aroma apel hijau kembali menguar. Sengaja, kuletakkan hidungku di puncak kepalamu, menghirup aroma khas itu seolah takkan pernah kuhirup lagi.

“Aku akan selalu ada untukmu, percayalah,” bisikku lembut. Kau mengangguk dalam pelukku.

“Tak usah berjanji jika tak mungkin untuk ditepati,” ucapmu.

Aku melepaskan pelukanku. Menatapmu yang sepuluh senti lebih rendah dariku dan menciumi pipimu berkali kali.

“Kau membuatku malu,” gerutumu sembari mengelak dariku yang hendak menciumimu lagi. Aku terkekeh geli. Pipimu merona merah, kontras dengan ekspresi cemberutmu yang menggemaskan.

“Baiklah, satu kecupan di kening dari kekasihmu yang ganteng ini?” Tanpa menunggu persetujuannmu, ku kecup keningmu lamat, membuatmu urung melancarkan protes.

“Pulang yuk.” Hanya itu yang keluar dari mulutmu. Aku tertawa. Dengan gemas kucubit hidungmu yang mancung sebelum menggenggam tanganmu untuk pulang.

*          *          *

“Apa yang membuatmu menyayangiku?” tanyamu pada suatu senja yang lain. Aku menatapmu penuh tanda tanya.

“Apa yang membuatmu menyayangiku?” tanyaku balik.

“Malah balik bertanya,” gerutumu. Aku tertawa.

“Tertawalah!” ucapmu berpura-pura marah. Dengan gemas ku cubit pipimu.

“Oh, kekasihku yang cantik ini merajuk.” Pipimu menggembung meski ada semburat merah terlukis disana. Pertanda kau hanya pura-pura merajuk.

“Perlukah alasan untuk menyayangi seseorang?” Kau menggeleng, membuat poni yang menghiasi keningmu bergoyang lucu. “Lalu, apa aku butuh alasan untuk menyayangimu?”


“Tapi mungkin saja, kan?” debatmu. Aku membetulkan letak dudukku, meregangkan badan, dan merangkulnya dari belakang. “Trik lama,” gumammu melihat tingkahku.

“Seorang ibu tak memiliki alasan untuk tidak menyayangi anaknya. Seorang kakak juga tak memiliki alasan untuk membenci adiknya. Dan setiap orang tak butuh alasan untuk saling menyayangi,” terangku. “Lalu, haruskah aku memiliki alasan untuk menyayangimu?” Kau tertegun.

Aku meraih tanganmu. “Rasa sayang, rasa cinta, rasa kasih, semuanya tumbuh subur dari dalam sini.” Ku dekatkan tanganmu menuju dadaku, meletakkannya di sana. “Dan menyebar ke setiap hati manusia.” Ku letakkan tanganmu di dadamu sendiri, sedang mataku menatap dalam matanya. Kau tersenyum dengan indahnya.

*          *          *

Hari ini kulewati senja bersamamu di kedai kopi kesukaanmu, menikmati secangkir kopi hangat sembari menatap hujan dari jendela. Hujan begitu deras, diselingi petir dan gemuruh. Membuatmu berkali-kali memelukku ketakutan.

“Ini hanya hujan, tak ada yang perlu kau takutkan,” ucapku mencoba menenangkanmu. Tetapi kau masih saja memeluk lenganku dengan erat. Dan tiba-tiba saja aku merasakan sesuatu yang hangat merembes kemejaku.

“Kau menangis?” tanyaku cemas. Dengan segera kuusap air mata yang mulai menuruni pipimu. “Ini hanya hujan, Sayang. Tak perlu kau takutkan.”

“Tidak.” Dengan segera kau menghapus air matamu. “Aku kelilipan.”

“Kau yakin?”  Kau mengangguk.

“Tatap aku, Cantik. Ada yang tengah kau pikirkan?” Kau masih menunduk.

“Kau.”

Kuangkat kepalamu hingga mata kita saling beradu. Entah siapa yang memulai, jarak antara kita mulai menipis. Senja itu di kala hujan, aku mencecap bibirmu yang manis karena cappuccino. Aku mencintaimu, Kasih



Padang, 3 Agustus 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar, kritik, dan saran yang membangun. Terima kasih.