Kau menatap kertas itu dengan wajah kusut masai. Sesekali
kau hujamkan guratan-guratan pensil dengan kasar dan keras. Sesekali kau mencoretnya,
menggantinya dengan guratan-guratan lain. Aku hanya bisa mendiam, menatapmu
berjuta tanya. Tiba-tiba pensil yang kau hujamkan berkali-kali itu patah. Kau
membuangnya. Frustasi.
“Siaaaaall!” teriakmu pada langit yang sudah menyemburkan
semburat mega. Dihadapan kami sejumlah remaja tampak bersuka cita menyambut
senja. Kau tak peduli. Kau tetap menghujamkan samurai pensilmu sambil sesekali menatap
senja di tepian pantai Padang.
“Teriak pun tak ada gunanya,” erangku. “Lebih baik kau tenangkan
dirimu. Kita pulang saja ya? Aku antar.” Kau mengangguk. Membereskan kertas,
pensil, dan segala tetek bengek peralatanmu yang terserak. Memasukkannya ke
dalam tas yang kemudian kau selempangkan ke bahu kananmu serampangan, dan
berjalan menuju mobil mendahuluimu
“Temani aku minum kopi,” pintamu. Dengan segera
kukemudikan mobil menuju kedai kopi kesukaanmu.
* * *
“Kau
kenapa?” tanyaku di suatu senja. Kulihat kau menyeka air matamu sekilas,
menghela napas berat, kemudian menatapku seolah tak ada yang terjadi.
“Aku
baik-baik saja.” Kau menyunggingkan senyuman padaku. Tapi aku tahu ada yang
salah padamu, karena matamu menyiratkan kedukaan yang mendalam.
“Tak boleh
menyimpan masalah,” tegurku. Kau menghela napas, lalu berdiri di hadapanku,
membelakangi matahari yang mulai terbenam di ufuk barat. Rambutmu yang panjang
terurai berkibar diterpa angin. Dalam siluet senja kau tampak begitu cantik,
begitu anggun. Aku berdiri sembari terus menatapmu yang menatap mataku begitu
lamat.
“Aku
baik-baik saja,” ucapmu sambil menangkupkan kedua belah telapak tanganmu di
pipiku. Kau mengusapnya dengan lembut sembari menatap mataku. Tanganku bergerak
menyentuh pipinya, mengusap airmata yang mulai meluncur dari matamu. Kau
terisak. Tak tega, kuisyaratkan dirimu untuk menangis di pundakku, dan seketika
kau telah menghambur dalam pelukku.
“Menangislah,”
bisikku sembari mengusap punggungmu. Tanganku bergerak melingkari pinganggmu,
mencoba memberi rasa nyaman. “Menangislah bila itu bisa menenangkan batinmu.” Kubiarkan
kau menangis sepuas hatimu. Kau terisak, mulai merenggangkan pelukanmu dan
menatapku, kemudian kembali menangis dan memelukku.
“Sudah,
sudah,” bisikku sembari mengusap kepalamu. Sesekali kucium puncak kepalamu yang
menguarkan aroma apel hijau, aroma shampoo kesukaanmu. Tak lama, isakanmu mereda.
Kau melepaskan pelukanmu dengan mata sembab, dan semburat rona merah yang samar
di pipimu.
“Merasa
lebih baik?” tanyaku sembari mengusap sisa-sisa air mata yang masih menggenang
di pelupuk matamu. Kau mengangguk, mencoba tersenyum dengan wajah yang masih
kusut masai. Tanpa sadar kukecup keningmu lembut dan lama. Mencoba
memberitahumu betapa aku terluka melihat keadaanmu kini.
“Kau
membuatku cemas,” ucapku lembut. Masih menatapmu, dan masih mengusap pipimu.
“Tak perlu
mencemaskanku,” katamu.
“Tidak bisa,
bagaimana mungkin aku tak mencemaskan orang yang kukasihi?” Kurentangkan kedua
tanganku, mendekapmu lebih
erat. Aroma apel hijau kembali menguar. Sengaja, kuletakkan hidungku di
puncak kepalamu, menghirup aroma khas itu seolah takkan pernah kuhirup lagi.
“Aku akan
selalu ada untukmu, percayalah,” bisikku lembut. Kau mengangguk dalam pelukku.
“Tak usah
berjanji jika tak mungkin untuk ditepati,” ucapmu.
Aku
melepaskan pelukanku. Menatapmu yang sepuluh senti lebih rendah dariku dan
menciumi pipimu berkali kali.
“Kau
membuatku malu,” gerutumu sembari mengelak dariku yang hendak menciumimu lagi.
Aku terkekeh geli. Pipimu merona merah, kontras dengan ekspresi cemberutmu yang
menggemaskan.
“Baiklah,
satu kecupan di kening dari kekasihmu yang ganteng ini?” Tanpa menunggu
persetujuannmu, ku kecup keningmu lamat, membuatmu urung melancarkan protes.
“Pulang
yuk.” Hanya itu yang keluar dari mulutmu. Aku tertawa. Dengan gemas kucubit
hidungmu yang mancung sebelum menggenggam tanganmu untuk pulang.
* * *
“Apa yang
membuatmu menyayangiku?” tanyamu pada suatu senja yang lain. Aku menatapmu
penuh tanda tanya.
“Apa yang
membuatmu menyayangiku?” tanyaku balik.
“Malah balik bertanya,” gerutumu. Aku tertawa.
“Tertawalah!” ucapmu berpura-pura marah. Dengan gemas ku cubit pipimu.
“Oh, kekasihku yang cantik ini merajuk.” Pipimu menggembung meski ada semburat merah terlukis disana. Pertanda kau hanya pura-pura merajuk.
“Malah balik bertanya,” gerutumu. Aku tertawa.
“Tertawalah!” ucapmu berpura-pura marah. Dengan gemas ku cubit pipimu.
“Oh, kekasihku yang cantik ini merajuk.” Pipimu menggembung meski ada semburat merah terlukis disana. Pertanda kau hanya pura-pura merajuk.
“Perlukah alasan untuk menyayangi seseorang?” Kau menggeleng, membuat poni yang menghiasi keningmu bergoyang lucu. “Lalu, apa aku butuh alasan untuk menyayangimu?”
“Tapi mungkin saja, kan?” debatmu. Aku membetulkan letak dudukku, meregangkan badan, dan merangkulnya dari belakang. “Trik lama,” gumammu melihat tingkahku.
“Seorang ibu tak memiliki alasan untuk tidak menyayangi anaknya. Seorang kakak juga tak memiliki alasan untuk membenci adiknya. Dan setiap orang tak butuh alasan untuk saling menyayangi,” terangku. “Lalu, haruskah aku memiliki alasan untuk menyayangimu?” Kau tertegun.
Aku meraih
tanganmu. “Rasa sayang,
rasa cinta, rasa kasih, semuanya tumbuh subur dari dalam sini.” Ku dekatkan
tanganmu menuju dadaku, meletakkannya di sana. “Dan menyebar ke setiap hati
manusia.” Ku letakkan tanganmu di dadamu sendiri, sedang mataku menatap dalam
matanya. Kau tersenyum dengan indahnya.
* * *
Hari ini
kulewati senja bersamamu di kedai kopi kesukaanmu, menikmati secangkir kopi
hangat sembari menatap hujan dari jendela. Hujan begitu deras, diselingi petir
dan gemuruh. Membuatmu berkali-kali memelukku ketakutan.
“Ini hanya
hujan, tak ada yang perlu kau takutkan,” ucapku mencoba menenangkanmu. Tetapi
kau masih saja memeluk lenganku dengan erat. Dan tiba-tiba saja aku merasakan
sesuatu yang hangat merembes kemejaku.
“Kau
menangis?” tanyaku cemas. Dengan segera kuusap air mata yang mulai menuruni
pipimu. “Ini hanya hujan, Sayang. Tak perlu kau takutkan.”
“Tidak.”
Dengan segera kau menghapus air matamu. “Aku kelilipan.”
“Kau
yakin?” Kau mengangguk.
“Tatap aku, Cantik. Ada yang tengah kau pikirkan?” Kau masih menunduk.
“Kau.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar, kritik, dan saran yang membangun. Terima kasih.