Bu, belum genap usiaku empat tahun,
berbagai jenis seragam sudah kau pakaikan kepadaku. Waktu itu aku menurut saja,
Bu. Karena yang aku tahu, anak pintar sepertiku tidak boleh bermain hujan,
bermain lumpur, ataupun bermain pasir seperti anak tetangga.
Bu, usia lima tahun aku sudah kau
kenakan seragam merah putih. Padahal teman-temanku masih bermain dengan lilin
dan kerayon. Katamu, itu semua wajar saja. Aku anak cerdas.
Bu, hanya dua tahun aku kenakan seragam
putih biru. Aku mulai bingung, Bu. Katamu, tak baik menunda-nunda sesuatu. Bu,
apakah sekolah tiga tahun termasuk menunda sesuatu?
Bu, dua tahun juga aku kenakan seragam
putih abu-abu. Alasanmu masih tetap sama. Aku tak mengerti, Bu. Lebih tak
mengerti lagi ketika kau melarangku bermain musik. Katamu, anak cerdas
sepertiku tidak bermain musik. Anak cerdas sepertiku hanya membaca dan belajar.
Namun, apa kau tahu, Bu? Aku tetap bermain musik sepulang sekolah bersama
teman-temanku. Kau tak tahu, tentu saja.
Bu, teman-teman kuliahku dua tahun lebih
tua dariku. Katamu, itu wajar saja. Anak cerdas sepertiku sudah semestinya
bergaul dengan orang yang lebih tua. Apa artinya aku harus sepertimu, Bu? Kau
yang setiap malam diantar pulang dalam keadaan setengah sadar oleh lelaki
berkumis dan berdasi yang wajahnya selalu berganti tiap hari. Haruskah aku
seperti itu, Bu?
Bu, aku tak ingin lagi menuruti titahmu.
Aku ingin mengikuti hatiku. Aku tak ingin berbohong lagi, Bu. Aku ingin menikah
dengan sesama lelaki.
17 Januari 2013
263 kata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar, kritik, dan saran yang membangun. Terima kasih.