Jumat, 10 Mei 2013

Memoar Album Biru

Aku menatap sendu album tua itu. Album tua yang tampak usang dan berdebu. Aku menyapu debu-debu yang menutupi sampulnya yang sudah berwarna biru pudar, terkikis oleh waktu. Membuka lembar demi lembar,  mengenang setiap memori yang terekam dalam album ini.

Seketika mataku tertumbuk pada salah satu foto. Seorang gadis kecil berbalut gaun berwarna oranye cerah, meniup lilin pada kue ulang tahunnya, didampingi kedua orang tuanya. Ya, gadis kecil itu adalah aku, di hari ulang tahunku, sepuluh tahun yang lalu.

Tentu, samar-samar masih kuingat hari itu. Hari itu ibuku sangat bersemangat. Mencarikan aku gaun yang indah, membuatkan kue yang enak, dan menyiapkan pesta yang meriah untukku. Semua itu dilakukannya sendiri. Tanpa meminta bantuan siapapun.

Lamat-lamat kucoba mengingat, bagaimana aku merajuk pada ibuku kala ia memberikanku gaun oranye cerah itu. Aku merajuk, tak mau memakai gaun pilihannya. Namun dengan sabar ia membujukku, meminta maaf karena tidak mendapatkan gaun berwarna biru seperti yang aku inginkan. Lama, setelah ia berjanji akan membelikanku gaun biru, aku mengalah dan memakai gaun pemberiannya.

Ah, ya, itu pesta ulang tahun yang terindah seingatku, dan dia mempersiapkan segalanya dengan sempurna. Benar benar sempurna.

Kubalik halaman demi halaman album itu, menjajaki setiap memori yang tersimpan di dalamnya, menjelajahi setiap rekam jejak perjalanan hidupku. Dari kecil, balita, taman kanak-kanak, SD. Ah, SD! Mataku menatap lekat pada satu foto lagi. Foto masa SD-ku, memakai seragam mayoret, terlihat menonjol diantara yang lainnya yang memakai seragam sekolah, duduk memeluk piala besar. Piala kemenangan sekolahku.

Otakku berputar mengingat masa itu. Bagaimana lelah dan letihnya perjuanganku dan teman-temanku meraih piala itu. Bagaimana penatnya berlatih, mengatur formasi, gerakan, tempo dan semacamnya. Berusaha menjadi tim drum band terbaik. Dan bagaimana senyum kebanggaan terpancar dari wajah ibuku saat aku mengangkat piala itu. Ah, Ibu, satu lagi jasanya yang takkan mungkin kulupakan.

Masih kuingat, betapa berat perjuangannya kala itu. Berusaha memenuhi keinginanku yang seaakan tak pernah habis. Menemaniku berlatih, mengingatkanku untuk makan siang saat latihan, mencarikan baju untuk bertanding, dan bahkan merawatku saat terserang gejala tipus akibat terlalu lelah berlatih.

Aku ingat, betapa semua orang khawatir padaku saat itu, termasuk dia. Wajahnya selalu menatap cemas padaku saat terbaring sakit.  Saat semua orang cemas karena pertandingan tinggal dua minggu lagi sedang aku tak memiliki cadangan, ia berusaha keras untuk menyembuhkanku. Agar aku dapat bertanding, sesuai kemauanku.

Aku mengelus foto itu, satu lagi kenangan indah tentangnya. Pada foto disebelahnya, tampak seorang gadis beranjak remaja tengah memberikan kue berhias lilin pada ibunya. Aku tersenyum, mengingat dengan jelas kenangan dibalik foto itu.

Tanggal 27 Januari 2007, tepat di hari ulang tahunnya. Aku hanya bisa memberikan kado  yang sangat sederhana, sepotong kue dan pajangan bertuliskan “Happy Birthday Mom” yang aku beli dengan susah payah, mengumpulkan uang sakuku selama sebulan penuh untuk membeli kado untuknya. Sederhana memang, namun senyum tulusnya cukup untuk membuatku mengerti, ia sangat menghargai pemberianku.

Tanpa sadar air mataku menetes, besar pengorbanannya tak sebanding dengan apa yang kuberikan. Dan entah mengapa, tetesan airmataku itu jatuh mengenai sebuah foto yang lain. Fotoku, memakai training pack dan memegang erat sebuah piala. Satu lagi torehan prestasi yang kubuat, dan satu lagi kenangan indahku bersama Ibu.

Hari itu hari Senin pagi, tepat dua tahun yang lalu. Jauh hari sebelumnya sudah kukatakan pada Ibu aku mengikuti lomba menulis puisi sebagai perwakilan sekolah, dan aku ingin dia melihatnya. Saat itu Ibu hanya berkata, “Ya, akan kuusahakan” dan aku percaya dia pasti datang.

Namun, hingga perlombaan usai, dia tak kunjung datang. Hanya sebuah pesan singkat yang masuk ke ponselku, mengisyaratkan ketidakhadirannya. Aku kecewa, sangat. Sepanjang malam aku tak mau bicara padanya. Aku tahu, ia merasa sangat bersalah. Dan ia menebusnya. Kala aku tampil di perlombaan tingkat provinsi, ia datang memberi dukungan untukku. Dan aku berhasil! Aku meraih posisi kedua dalam perlombaan itu. Aku membuatnya bangga!

Airmataku menetes, lagi. Dengan segera aku menyekanya seraya membuka lembaran album selanjutnya. Hanya ada satu foto yang terpajang, foto yang baru dibuat beberapa bulan lalu. Fotoku mengenakan seragam MOS SMA-ku. Ah, betapa bangganya. Sangat sulit untuk masuk sekolah bergengsi seperti sekolahku. Dan aku masih sangat ingat betapa sulit dan berat perjuanganku untuk meraihnya.

Sekolahku menggunakan sistem tes dalam penjaringan siswanya, dan aku salah satu yang berharap menjadi bagian dari sekolah tersebut. Memakai seragam putih abu-abu dengan badge lambang sekolah tersebut menempel di lengan baju adalah sebuah kebanggaan.

Sebuah perjuangan berat untuk mencapainya. Saat aku mengikuti tes, aku malah terserang tipus dan harus dirawat dirumah sakit. Namun aku tidak mau, tentu saja. Membuang kesempatan yang ada didepan mata bukanlah ide yang bagus. Dan jadilah, Ibu menggendongku keluar masuk ruangan selama tes. Dan hasilnya, aku menjadi bagian dari 200 lebih siswa kelas 10 di SMA tersebut.

Aku melirik jam yang duduk tegak di atas meja belajar ku. Setengah dua belas, setengah jam menuju hari yang baru. Aku menatap kalender di samping jam weker ku. Besok tanggal 22 Desember, Hari Ibu. Aku mendesah, berapa banyakkah kenangan yang kita lalui bersama, Ibu? Mungkinkah sebanyak pasir di pantai? Atau sebanyak bintang di langit? Wallahu alam bisawwab. Selamat Hari Ibu, Ibu.



Padang, 28 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar, kritik, dan saran yang membangun. Terima kasih.