Seketika
mataku tertumbuk pada salah satu foto. Seorang gadis kecil berbalut gaun
berwarna oranye cerah, meniup lilin pada kue ulang tahunnya, didampingi kedua
orang tuanya. Ya, gadis kecil itu adalah aku, di hari ulang tahunku, sepuluh
tahun yang lalu.
Tentu,
samar-samar masih kuingat hari itu. Hari itu ibuku sangat bersemangat.
Mencarikan aku gaun yang indah, membuatkan kue yang enak, dan menyiapkan pesta
yang meriah untukku. Semua itu dilakukannya sendiri. Tanpa meminta bantuan
siapapun.
Lamat-lamat
kucoba mengingat, bagaimana aku merajuk pada ibuku kala ia memberikanku gaun
oranye cerah itu. Aku merajuk, tak mau memakai gaun pilihannya. Namun dengan
sabar ia membujukku, meminta maaf karena tidak mendapatkan gaun berwarna biru
seperti yang aku inginkan. Lama, setelah ia berjanji akan membelikanku gaun
biru, aku mengalah dan memakai gaun pemberiannya.
Ah,
ya, itu pesta ulang tahun yang terindah seingatku, dan dia mempersiapkan
segalanya dengan sempurna. Benar benar sempurna.
Kubalik
halaman demi halaman album itu, menjajaki setiap memori yang tersimpan di
dalamnya, menjelajahi setiap rekam jejak perjalanan hidupku. Dari kecil,
balita, taman kanak-kanak, SD. Ah, SD! Mataku menatap lekat pada satu foto
lagi. Foto masa SD-ku, memakai seragam mayoret, terlihat menonjol diantara yang
lainnya yang memakai seragam sekolah, duduk memeluk piala besar. Piala
kemenangan sekolahku.
Otakku
berputar mengingat masa itu. Bagaimana lelah dan letihnya perjuanganku dan
teman-temanku meraih piala itu. Bagaimana penatnya berlatih, mengatur formasi,
gerakan, tempo dan semacamnya. Berusaha menjadi tim drum band terbaik. Dan
bagaimana senyum kebanggaan terpancar dari wajah ibuku saat aku mengangkat
piala itu. Ah, Ibu, satu lagi jasanya yang takkan mungkin kulupakan.
Masih
kuingat, betapa berat perjuangannya kala itu. Berusaha memenuhi keinginanku
yang seaakan tak pernah habis. Menemaniku berlatih, mengingatkanku untuk makan
siang saat latihan, mencarikan baju untuk bertanding, dan bahkan merawatku saat
terserang gejala tipus akibat terlalu lelah berlatih.
Aku
ingat, betapa semua orang khawatir padaku saat itu, termasuk dia. Wajahnya
selalu menatap cemas padaku saat terbaring sakit. Saat semua orang cemas karena pertandingan
tinggal dua minggu lagi sedang aku tak memiliki cadangan, ia berusaha keras
untuk menyembuhkanku. Agar aku dapat bertanding, sesuai kemauanku.
Aku
mengelus foto itu, satu lagi kenangan indah tentangnya. Pada foto disebelahnya,
tampak seorang gadis beranjak remaja tengah memberikan kue berhias lilin pada
ibunya. Aku tersenyum, mengingat dengan jelas kenangan dibalik foto itu.
Tanggal 27
Januari 2007, tepat di hari ulang tahunnya. Aku hanya bisa memberikan kado yang sangat sederhana, sepotong kue dan
pajangan bertuliskan “Happy Birthday Mom” yang aku beli dengan susah payah,
mengumpulkan uang sakuku selama sebulan penuh untuk membeli kado untuknya.
Sederhana memang, namun senyum tulusnya cukup untuk membuatku mengerti, ia
sangat menghargai pemberianku.
Tanpa sadar air
mataku menetes, besar pengorbanannya tak sebanding dengan apa yang kuberikan.
Dan entah mengapa, tetesan airmataku itu jatuh mengenai sebuah foto yang lain.
Fotoku, memakai training pack dan
memegang erat sebuah piala. Satu lagi torehan prestasi yang kubuat, dan satu
lagi kenangan indahku bersama Ibu.
Hari itu hari
Senin pagi, tepat dua tahun yang lalu. Jauh hari sebelumnya sudah kukatakan
pada Ibu aku mengikuti lomba menulis puisi sebagai perwakilan sekolah, dan aku
ingin dia melihatnya. Saat itu Ibu hanya berkata, “Ya, akan kuusahakan” dan aku
percaya dia pasti datang.
Namun, hingga
perlombaan usai, dia tak kunjung datang. Hanya sebuah pesan singkat yang masuk
ke ponselku, mengisyaratkan ketidakhadirannya. Aku kecewa, sangat. Sepanjang
malam aku tak mau bicara padanya. Aku tahu, ia merasa sangat bersalah. Dan ia
menebusnya. Kala aku tampil di perlombaan tingkat provinsi, ia datang memberi
dukungan untukku. Dan aku berhasil! Aku meraih posisi kedua dalam perlombaan
itu. Aku membuatnya bangga!
Airmataku
menetes, lagi. Dengan segera aku menyekanya seraya membuka lembaran album
selanjutnya. Hanya ada satu foto yang terpajang, foto yang baru dibuat beberapa
bulan lalu. Fotoku mengenakan seragam MOS SMA-ku. Ah, betapa bangganya. Sangat
sulit untuk masuk sekolah bergengsi seperti sekolahku. Dan aku masih sangat
ingat betapa sulit dan berat perjuanganku untuk meraihnya.
Sekolahku
menggunakan sistem tes dalam penjaringan siswanya, dan aku salah satu yang
berharap menjadi bagian dari sekolah tersebut. Memakai seragam putih abu-abu
dengan badge lambang sekolah tersebut
menempel di lengan baju adalah sebuah kebanggaan.
Sebuah
perjuangan berat untuk mencapainya. Saat aku mengikuti tes, aku malah terserang tipus
dan harus dirawat dirumah sakit. Namun aku tidak mau, tentu saja. Membuang
kesempatan yang ada didepan mata bukanlah ide yang bagus. Dan jadilah, Ibu menggendongku
keluar masuk ruangan selama tes. Dan hasilnya, aku menjadi bagian dari 200
lebih siswa kelas 10 di SMA tersebut.
Aku melirik jam
yang duduk tegak di atas meja belajar ku. Setengah dua belas, setengah jam
menuju hari yang baru. Aku menatap kalender di samping jam weker ku. Besok
tanggal 22 Desember, Hari Ibu. Aku mendesah, berapa banyakkah kenangan yang
kita lalui bersama, Ibu? Mungkinkah sebanyak pasir di pantai? Atau sebanyak
bintang di langit? Wallahu alam bisawwab. Selamat Hari Ibu, Ibu.
Padang, 28 Desember
2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar, kritik, dan saran yang membangun. Terima kasih.