Senin, 20 Mei 2013

[Berani Cerita #12] Sepatu Lukis Si Jurnalis

Sepatu lukis Nightmare Before Christmas
milik saya yang usianya sudah tiga tahun


"Ares!" Sebuah kepala menoleh. "Jam dua nanti kamu ngeliput pembukaan FLS2N1 di Taman Budaya ya!"

Seseorang yang dipanggil Ares itu nyengir kuda. "Saya sekalian reuni boleh ya, Bos?" katanya sembari membenarkan jilbab hijau mudanya yang mulai berantakan.

"Kamu ke sana bukan untuk reuni, Nona. Tapi kerja. Bedakan dong."

"Kan sambil menyelam minum air, Bos," kata Ares. Sebelah tangannya terulur ke bawah meja di kubikel kecilnya. Tak lama, sebelah tangan itu menjepit sebuah benda berwarna putih dengan hiasan tokoh fiksi Nightmare Before Christmas. Tangannya terangkat, mengamati benda putih yang tak bisa dikatakan putih lagi.

"Yah, aku lupa nyuci sepatu ini," keluhnya sembari menatap benda di tangannya itu. Pipinya mengembung. Sebelah tangannya bertengger di atas meja, menopang dagunya. Bos menatapnya geli.

"Res, itu sepatu sejak zaman kamu baru kenal saya sampai kamu mau masuk kuliah gak pernah kamu ganti-ganti. Kasihan sepatunya sudah bulukan begitu. Mana gak kamu cuci pula. Res, Res, kamu gak malu apa, pake sepatu butut begitu? Bau pula."

Ares mendelik, "Ini sepatu penuh sejarah lho, Bos! Ini pemberian kaa-san2." Bos menatapnya dengan sebelah tangan menutupi mulutnya. Terlihat sekali pemimpin redaksi itu berusaha keras untuk tidak menertawakan anak buahnya. 

“Susah punya pimred kayak Bos. Sudahlah Bos, saya cabut ke Taman Budaya dulu.” Sebuah tas kamera sudah tergantung di pundak kanannya. Sepatu yang terlihat uzur itu sudah bertengger manis di kakinya.

“Saya tunggu tulisan kamu sebelum jam empat ya, Ares! GPL, gak pake lama!” Ares nyengir sambil berlalu meninggalkan bosnya yang sudah ia anggap saudara.

***

 “Ares, otanjyoubi omedetou gozaimasu3! Sekarang kamu sudah SMA, ne4? Kaa-san punya hadiah untuk kamu.” Wajah Ares sumingrah. Sebuah kue tart berbentuk kamera dengan lilin yang menyala serta sebuah kotak kado terletak di depannya.

Arigatou5 Kaa-san, Ayah, seharusnya tidak perlu ada perayaan kan?Aku kan sudah enam belas tahun.”

Kaa-sanmu bersikeras mengadakan pesta kecil-kecilan. Lagipula, hanya kita bertiga. Bukalah kadomu, Antares.” Dengan semangat, Ares merobek kertas yang membungkus kadonya. Sebuah kartu menyembul dari balik kertas tersebut, diatas sebuah benda yang dibungkus kertas putih.

“Ah! Sepatu lukis! Kaa-san pasti melihat wishlist yang aku tempel di kamar. Ah, Kaa-san curang!” Pipinya menggembung, pura-pura merajuk.

“Habisnya Kaa-san bingung mau kasih kamu kado apa. Masa Kaa-san kasih kamu buku lagi? Itu lemari bukumu sudah penuh sesak semua.”

“Yah, daripada buku,” cengir Ares. “Domo arigatou6 Kaa-san!”

***

Sebuah kaki yang terbalut sepatu putih kusam dengan hiasan Nightmare Before Christmas melangkah memasuki Teater Tertutup Taman Budaya Sumatera Barat. Samar-samar terdengar suara saling bersahutan. Lantunan sajak menggema di ruangan besar yang tak terlalu dipenuhi pengunjungPemilik kaki itu menjelajah, memotret para penyair muda yang tengah bersajak dari berbagai sisi.

“Mbak, maaf.” Sebuah tepukan membuyarkan konsentrasi meliput Ares.

“Ya?”

“Sepatu mbak solnya hampir lepas.” Refleks, Ares melihat sepatunya.

Sepatu ini memang butuh reparasi, keluhnya

435 kata (diluar keterangan)

Keterangan:
1. FLS2N: Festival Lomba Seni Siswa Nasional, adalah lomba kesenian tahunan untuk pelajar SD, SMP, dan SMA (biasanya dibagi berdasarkan jenjang pendidikan) yang diadakan setiap pertengahan semester dua
2. Kaa-san: ibu, bentuk lain dari okaa-san
3. Otanjyoubi omedetou gozaimasu: selamat ulang tahun
4. Ne: secara harfiah berarti 'ya', biasa digunakan dalam percakapan informal
5. Arigatou: terima kasih
6. Domo arigatou: bentuk formal dari arigatou

6 komentar:

  1. So, ares ini dari keluarga jepang? Kenapa manggil ayah biasa aja, trus manggil ibu dg kaa-san?

    Walo tanpa konflik, tapi gue suka, karna gue bisa belajar kosakata jepang di sini! Thanks ea... ;-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Blasteran Indonesia-Jepang. Paman saya yang keturunan Indo-Jepang memanggil orangtuanya begitu, jadi saya pikir mungkin anak-anak blasteran Indo-Jepang memang begitu :D

      Hapus
  2. sebenarnya yang mau diceritain apa sih? kok seperti nggak ada tujuan? Atau cerita yang menggantung belum ada kejelasan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya menulis ngalir saja, tidak pernah terpikirkan membuat konflik yang benar-benar tergambar. Sudah kebiasaan :D
      Jadi, kesimpulan akhir dari cerpen saya serahkan kepada pembaca :D

      Hapus
  3. suka.. mantapp win..
    msh ingat abng?

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan komentar, kritik, dan saran yang membangun. Terima kasih.